Comunitynews | Riau — Suasana mencekam menyelimuti Kampung D.30 di Desa Bumbung, Kecamatan Bathin Solapan, Kabupaten Bengkalis, menyusul operasi lima unit alat berat excavator yang diduga ilegal dan merusak lahan warga. Warga mendesak Pertamina Hulu Rokan untuk segera mengambil langkah tegas.
Paruntungan Sihombing, salah satu tokoh masyarakat setempat, mengungkapkan bahwa keberadaan alat berat tersebut sangat meresahkan karena beroperasi di zona sensitif yang dilintasi pipa migas dan berada dekat gudang bahan peledak (handak). Ia menegaskan bahwa kegiatan ini tidak dilengkapi izin dari Pertamina, kepolisian, maupun pemerintah desa.
“Ini bukan sekadar aktivitas biasa. Mereka masuk tanpa izin dan merusak tanaman kelapa sawit milik warga. Ini wilayah rawan dan strategis bagi operasional migas, tapi seperti tak ada pengawasan,” ujar Paruntungan.
Menurut keterangan warga, perusakan telah berlangsung sejak Oktober 2024, mengakibatkan kerusakan pada sekitar 76 hektare lahan sawit milik 21 kepala keluarga. Warga menyebut alat berat digunakan oleh oknum yang mengklaim sebagai kepala suku lokal, tanpa pemberitahuan maupun proses ganti rugi yang sah.
Salah satu korban, Edison Matondang (34), mengungkapkan ia mengelola lahan seluas enam hektare sejak 2016. Ia mengaku mendapat tekanan dari pihak yang mengaku sebagai anggota kepolisian saat mempertahankan lahannya.
“Saya diancam dan bahkan didorong saat mempertanyakan penggusuran lahan. Mereka bilang lahan saya sudah dibeli oleh seseorang bernama Manurung, padahal tidak ada proses jual beli yang saya ketahui,” tutur Edison dengan nada sedih.
Edison menambahkan bahwa meski sempat ada kesepakatan ganti rugi sebesar Rp29,9 juta, ia hanya menerima Rp7 juta secara bertahap melalui transfer, dan sisanya tak pernah dibayarkan. Saat ditagih, ia justru mendapat ancaman bahwa jika menolak, uang dan lahannya akan diambil kembali.
Ketua Badan Pemantau dan Pencegahan Tindak Pidana Korupsi (BP2 Tipikor), Agustinus Petrus Gultom, menyebut peristiwa ini bagian dari praktik mafia tanah yang semakin mengkhawatirkan di wilayah Riau.
“Kami menerima banyak laporan korban perusakan. Modusnya beragam, mulai dari mengklaim tanah sebagai adat, hingga menjual lahan dengan dokumen yang diragukan keasliannya. Bahkan ada yang menawarkan surat tanah adat dengan harga puluhan juta rupiah,” jelasnya.
Agus Gultom juga menegaskan bahwa pelaku kerap membawa massa saat melakukan penggusuran, menciptakan potensi konflik horizontal antar warga. Ia menyayangkan minimnya tindakan dari aparat penegak hukum.
BP2 Tipikor berkomitmen membawa persoalan ini hingga ke tingkat pusat. Mereka berencana melaporkan kasus ini kepada Menteri BUMN, DPR RI, dan pihak Pertamina.
“Kami tidak ingin korban terus bertambah. Ini harus dihentikan. Aktivitas alat berat harus segera diawasi, dan legalitas tanah adat yang digunakan sebagai dalih harus ditelusuri. Negara tidak boleh kalah oleh mafia,” tegas Agus.
Hingga berita ini diterbitkan, belum ada tanggapan resmi dari Pertamina Hulu Rokan maupun aparat penegak hukum terkait tuntutan warga.